Jumat, 16 Desember 2011

Harus Rajin Minum Sekarang Juga!

Anda tentu tahu bahwa bibir kering, haus, atau kelelahan berkepanjangan, merupakan gejala dehidrasi. Jadi, mengapa Anda tak juga membiasakan diri untuk minum air putih? Padahal, saran untuk minum air putih 8 gelas sehari itu sudah kita dengar sejak di sekolah dasar.

Memang, terkadang minum air putih terasa membosankan. Padahal, jika Anda banyak minum air putih, ada tiga masalah yang bisa terselesaikan lho. Tidak hanya rasa haus semata, tetapi juga berat badan dan kondisi kesehatan secara umum.

Apa saja itu?

1. Menambah energi
Kekurangan cairan dapat membuat perempuan menjadi kelelahan. Menurut penelitian, meminum air selama latihan dapat membantu seseorang untuk menjalani latihan dengan lebih prima. Anda disarankan untuk menambah minum pada dua atau tiga jam sebelum melakukan aktivitas seperti pergi gym, berenang, maupun berbagai aktivitas lain yang membutuhkan banyak energi. Untuk memberikan rasa lain, tambahkan rasa lemon, mint, ataupun buah beku, pada air putih.

2. Berhenti ngemil

Rasa lapar dapat saja disebabkan oleh rasa haus. Rasa haus tersebut kadang tersamarkan sehingga yang dirasakan adalah lapar. Minumlah air secara perlahan sepanjang hari untuk mengatasi rasa haus tersebut. Bila rajin minum, perut Anda terasa lebih kenyang sehingga Anda tak tergoda untuk mencari cemilan. Minum dapat juga dilakukan di sela-sela menyantap makanan, utama sehingga memberikan rasa kenyang lebih cepat.

3. Keuntungan untuk otak
Menurut penelitian dari European Journal of Neurology, seseorang yang memiliki penyakit migrain dapat mengurangi durasi dan intensitas sakit kepalanya dengan mengonsumsi enam gelas air setiap harinya.

Perlu diingat, dehidrasi dapat berkembang menjadi sesuatu yang serius seperti darah rendah dan detak jantung yang cepat. Jadi cairan sangat diperlukan untuk menghindari hal-hal tersebut. Apabila merasa bosan dengan air yang biasa diminum, cobalah alternatif penyegar untuk membuat variasi minuman Anda.

Celana Jeans Ketat Picu Jamur

Banyak para wanita yang menginginkan penampilan terlihat sexy, sehingga mengenakan pakaian yang cenderung ketat agar dapat menunjukkan bentuk tubuhnya. Memang celana ini mudah sekali didapat dan mudah sekali di padukan dengan banyak model baju yang lain. Ini yang menjadikan celana jeans ini banyak digemari.

Tetapi apakah mereka tahu kalau mengenakan celana jeans terus menerus kurang baik untuk kesehatan terutama bagi organ intim kewanitaan.

Celana jeans ini terbuat dari bahan yang cukup tebal, apalagi yang jenis straight jeans atau celana jeans yang pas di badan. Hal ini dapat menimbulkan rasa panas di bagian organ kewanitaan dan memicu produksi keringat yang cukup banyak. Ditambah lagi sirkulasi udara di daerah kewanitaan juga terganggu akibat bahan yang tebal itu, padahal daerah tersebut memerlukan sirkulasi udara yang cukup, agar keringat cepat mengering.

Apabila hal ini terjadi terus menerus maka, daerah itu akan menjadi lembab dan mudah sekali memicu tumbuhnya jamur. Disamping itu resiko untuk terjadinya iritasi maupun infeksi juga bertambah besar.

Trus, gimana solusinya bagi penggemar celana jeans ketat/straight?

Jadi boleh aja memakai celana jeans yang ketat agak sering tetapi harus dipadu dengan pemakaian celana dalam yang terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat.
Bahan pakaian dalam yang mudah menyerap keringat paling baik adalah Cotton yang terbuat dari serat kapas dan bila dipakai terasa dingin di kulit. Jangan memilih pakaian dalam yang terbuat dari serat sintetis seperti polyester karena bahan ini berupa serat fiber poly yang tidak bisa menyerap kerngat dan bila dipakai terasa panas.

Cara Meredakan Cemburu

Kalau tidak cemburu, maka tidak cinta namanya. Pernyataan di atas tentu saja benar, namun bukan berarti bahwa sembarang rasa cemburu dapat diterima dalam sebuah hubungan. Apalagi, bila yang dicemburui hanyalah teman biasa atau rekan kerja yang mau tidak mau harus kita temui setiap hari.

Untuk menghadapi sikap marah dan kekanakan pasangan akibat rasa cemburu bisa bermacam-macam, mulai dari mengabulkan permintaan pasangan untuk menjauhi orang yang dicemburui, hingga menganggap kecemburuan itu sebagai angin lalu saja. Tentunya kedua hal ini bukanlah penanganan yang sehat, yang satu terlalu 'memanjakan' pasangan, satunya lagi meremehkan. Lalu, bagaimana cara meredakan cemburu pasangan dengan cara yang sehat dan manjur tentunya. Berikut kita simak beberapa langkah di bawah ini.

"Percayalah padaku!"
Sebuah hubungan dibangun dan dipertahankan bukan hanya karena adanya cinta, namun juga karena kepercayaan. Jika sebuah isu tak sedap bergaung tentang Anda dengan seorang pria lain, maka ingatkan pasangan bahwa Anda ingin dipercaya dan tentunya, jadilah orang yang memang bisa dipercaya.

Terima kenyataan
Meski telah meyakinkan pasangan tentang pentingnya kepercayaan terhadap satu sama lain, namun hal itu tak berarti Anda harus mengabaikan keberadaan isu yang muncul. Hadapi kenyataan bahwa pasangan berhak untuk merasa was-was dan tidak aman karena mendengar kedekatan Anda dengan pria lain. Itu tandanya dia masih sayang pada Anda juga kan!

Jelaskan versi Anda
Anda harus meluruskan dan menjelaskan pada pasangan tentang bagaimana keadaan atau peristiwa yang sebenarnya. Apa saja yang telah terjadi antara Anda dan PIL tersebut, bagaimana sebenarnya hubungan Anda dan dia, dan sebagainya.

Dengarkan versinya
Setelah menjelaskan dengan detail tentang keadaan yang sebenarnya, maka Anda harus bersedia mendengarkan pemikirannya. Siapa tahu ternyata pasangan lebih mengenal atau tahu maksud tersembunyi dari sikap baik PIL tersebut. Siapa tahu juga PIL yang ia cemburui itu pernah menyebabkan trauma bagi pasangan karena pernah merebut pacar pertamanya dulu. Bisa jadi banyak hal yang mungkin tak Anda ketahui tentang PIL tersebut, yang lebih diketahui pasangan. Siapa tahu?![break]

Rundingkan jalan keluarnya
Setelah sesi mendengarkan masing-masing pihak selesai, maka kini saatnya bagi Anda dan pasangan untuk duduk bersama membicarakan tentang langkah apa yang harus diambil demi kenyamanan berdua.Yang pasti adalah bahwa harus ada keterbukaan antara Anda dan dia menyangkut PIL tersebut. Selain itu, Anda dan pasangan ada baiknya menyepakati peraturan hubungan bersama-sama, misalnya boleh bertemu bila memang harus (contoh untuk urusan kerja atau teman sekelas di kampus), namun tak boleh hanya berduaan saja, dan sebagainya.

Bangun kepercayaan dirinya
Setelah melewati pembicaraan yang panjang lebar dengan pasangan, Anda perlu meyakinkannya lagi bahwa dialah pria yang Anda pilih, dialah yang berharga, dan yang berhasil menambat hati Anda. Pria perlu diyakinkan. Pria perlu merasa aman, sama seperti Anda.

Libatkan dia
Dalam acara-acara tertentu yang memungkinkan Anda mengajak pasangan, maka Anda perlu melibatkan dia. Buat pasangan tahu seperti apa kehidupan dan kegiatan Anda, kenalkan juga teman-teman Anda sehingga dia tidak menjadi paranoid saat Anda menerima telepon dari pria yang lain lagi.

Alasan psikologi
Dalam kasus pria 'normal', mereka akan berhenti cemburu bila sudah ada penjelasan dan keterbukaan. Namun, dalam beberapa kasus, entah bagaimana pasangan bisa tetap merasa terancam meski telah diyakinkan berulang kali.

Jika Anda sudah mencoba berbagai cara dan dia tetap saja paranoid, maka Anda harus mencari tahu apa yang menyebabkan pasangan begitu merasa tidak aman. Bisa jadi itu karena trauma masa lalu, latar belakang psikologisnya saat ia masih kecil, hingga rasa ingin memiliki yang begitu tinggi. Apapun itu, semuanya muncul dari 1 sumber yaitu rasa tidak aman.

Untuk sebab satu ini, memang perlu ekstra waktu dan kesabaran, sebab sama seperti merombak ulang kepribadian seseorang, maka jelas ini butuh proses yang panjang, dan terkadang begitu melelahkan. Namun, yang penting adalah doa dan teladan nyata Anda sebagai pasangan. Itulah yang berteriak lebih keras daripada perkataan semanis apapun.

Kisah Kasih Tulus Si Bocah Polos

Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran, namun pelajaran hidup dari mereka yang melakukannya tanpa niat memberi teladan akan sangat mengena. Pelajaran itu datang dari anak-anak yang masih polos, di antaranya sebagai berikut.

Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.

Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.
Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.
Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan.Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda. Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. “Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab,” katanya.

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. “Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. “Sebut saja!” katanya menegaskan. Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. “Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!” kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai. Pelajaran moral yang tampak sederhana, tetapi amat bermakna. Setuju kan?

Kisah Kasih Tulus Si Bocah Polos

Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran, namun pelajaran hidup dari mereka yang melakukannya tanpa niat memberi teladan akan sangat mengena. Pelajaran itu datang dari anak-anak yang masih polos, di antaranya sebagai berikut.

Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat ketika usianya masih sangat belia. Tahun 2001, ketika usianya menjelang 10 tahun, Zhang Da harus menerima kenyataan ibunya lari dari rumah. Sang ibu kabur karena tak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya. Yang lebih tragis, si ibu pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh, tak berdaya, dan tanpa harta. Dan ia tak mau menafkahi keluarganya.

Maka Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh, harus mengambil-alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, mencari nafkah, mencari makanan, memasaknya, memandikan sang ayah, mencuci pakaian, mengobatinya, dan sebagainya.
Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurus ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki melewati hutan kecil dengan mengikuti jalan menuju tempatnya mencari ilmu. Selama dalam perjalanan, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari memakan rumput, dedaunan, dan jamur-jamur untuk berhemat. Tak semua bisa jadi bahan makanannya, ia menyeleksinya berdasarkan pengalaman. Ketika satu tumbuhan merasa tak cocok dengan lidahnya, ia tinggalkan dan beralih ke tanaman berikut. Sangat beruntung karena ia tak memakan dedaunan atau jamur yang beracun.

Usai sekolah, agar dirinya bisa membeli makanan dan obat untuk sang ayah, Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggung dan pergi menjadi pemecah batu. Upahnya ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pejalari.
Zhang Da ternyata cerdas. Ia tahu ayahnya tak hanya membutuhkan obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan.Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru mempelajari bagaimana cara menyuntik. Ia beli bukunya untuk ia pelajari caranya. Setelah bisa ia membeli jarum suntik dan obatnya lalu menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya terus dijalaninya hingga sampai lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Nanjing, Provinsi Zhejiang, menarik pemerintahan setempat. Pada Januari 2006 pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh inspiratif nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da. Ternyata ia menjadi pemenang termuda. Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi secara nasional. Zhang Da si pemenang diminta tampil ke depan panggung. Seorang pemandu acara menanyakan kenapa ia mau berkorban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. “Hidup harus terus berjalan. Tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab,” katanya.

Setelah itu suara gemuruh penonton memberinya applaus. Pembawa acara menanyainya lagi. “Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah di mana, dan apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah dan mau kuliah di mana. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!” papar pembawa acara.

Zhang Da terdiam. Keheningan pun menunggu ucapannya. Pembawa acara harus mengingatkannya lagi. “Sebut saja!” katanya menegaskan. Zhang Da yang saat itu sudah berusaha 15 tahun pun mulai membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan juga jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi, terdiam menunggu apa keinginan Zhang Da. “Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah!” kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penonton.

Zhang Da tak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, mungkin materi bisa dicari sesuai dengan kebutuhannya, tetapi seorang ibu dan kasih sayangnya, itu tak ternilai. Pelajaran moral yang tampak sederhana, tetapi amat bermakna. Setuju kan?

Cinta Yang Takkan Habis Dimakan Waktu

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas.

Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya
menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya kata-kata! Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.

Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. “Kamu pasti bercanda!” Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira
Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania! “Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. “Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!” Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa. “Maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”

Nania terkesima. “Kenapa?” Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan. “Nania cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. “Tapi kenapa?” Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. “Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”
Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi
menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur dua puluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya menikah.

Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.


“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.” Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”
“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”
“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
“Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!”
“Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?”
“Rafli juga pintar!”
“Tidak sepintarmu, Nania.”
”Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.”

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. “
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.” Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?” Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!


Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? dan kaya! Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan! “
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

“Baru pembukaan satu”
“Belum ada perubahan, Bu”
“Sudah bertambah sedikit!” kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

“Masih pembukaan dua, Pak!”
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

“Bang?” Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan.
“Dokter?”
“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.

Ia tak suka merasa sendiri lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
“Pendarahan hebat.” Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga
daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan
memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra. Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. “Nania, bangun, Cinta?” Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, “Nania, bangun, Cinta?”

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya
di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.

“Baik banget suaminya!”
“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”
“Nania beruntung!”
“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”
“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Sabtu, 10 Desember 2011

It's All About 11th December

Ini tentang kisah 11 Desember.

Pada tanggal 11 Desember 1990 pukul 06:00 WIBJ (Waktu Indonesia Bagian Jonggrang), lahirlah seorang bayi perempuan cantik. Ia menangis sangat kencang merasakan dinginnya udara pagi di bumi untuk pertama kalinya. Kedua orang tuanya (Umayah dan Sutarso) tersenyum penuh haru. Mereka sangat bahagia atas kehadiran buah hati pertama mereka, hasil perkawinan pada bulan Maret 1990.

Karena lahir pada bulan Desember, sang Ibu berniat memberinya nama DESI ARYANTI. Namun, beliau teringat pada DAISY, pacarnya DONALD DUCK. Karena tidak ingin putrinya “mirip” dengan bebek, beliau mengurungkan niatnya :D. Akhirnya atas anjuran seorang kiya’i, sang bayi diberi nama AI NURROCHMAH. Nama tersebut sebenarnya untuk saudara sepupu laki-laki sang bayi (Loh?) yang lahir beberapa bulan lebih awal. Namun berdasarkan perhitungan Jawa, nama tersebut ternyata tidak cocok untuk si sepupu. Setelah mengalami modifikasi, akhirnya nama tersebut disumbangkan kepada bayi tersebut.

Tahun berganti tahun, sang bayi tumbuh menjadi balita yang sehat dan montok (suwit … suwit…). Namun Ain (begitu sapaan akrabnya di lingkungan rumahnya), sangat pemalu dan jarang berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Hal ini tentu saja meresahkan kedua orang tuanya. Akhirnya pada bulan Juni tahunmereka menyekolahkan Ain kecil ke TK Pertiwi Plumbon. Namun karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, Ain kecil hanya mengenyam bangku TK selama 1 tahun. Di TK tersebut Ain kecil bertemu dengan “Sunny” yang kelak akan menjadi CINTA PERTAMAnya. Kedua orang tuanya yang sibuk bekerja membuat Ain kecil mandiri untuk urusan pulang pergi sekolah.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Suatu hari, Ain kecil masuk rumah sakit karena gangguan paru-paru. Ia dirawat di RSUD Arjawinangun selama 2 minggu. Tubuh kecilnya dijejali berbagai macam obat-obatan dan jarum infus. Berat badannya turun drastis. Sejak saat itu, Ia dilarang untuk minum es dan bermain hujan-hujanan (hikz!).

Pada usia 5.5 tahun, Ain kecil meneruskan pendidikannya ke SDN 1 Plumbon. Prestasinya di SD terbilang sangat memuaskan (bangga dikit gpp kan?). Selama 6 tahun masa pendidikan, ia selalu masuk 3 besar. Sembari SD, Ain kecil juga menempuh pendidikan agama di TKA/TPA An-Nuur sejak kelas 2 SD. Teman-temannya di madrasah yang mayoritas laki-laki, membuat Ain kecil tumbuh menjadi sosok gadis tomboy yang hobi bermain sepeda. Bahkan sepeda kebanggaannya pun model laki-laki!

Pada 18 mei 1998, Ain kecil dikaruniai seorang adik perempuan bernama REGINA NURHIKMAH. Sebenarnya Ia dan keluarganya menginginkan seorang adik laki-laki. Namun nikmat Tuhan harus tetap disyukuri. Ain kecil sangat senang karena Ia tidak kesepian lagi di rumah. Namun kondisi keuangan keluarga memburuk. Pasca melahirkan, otomatis sang Ibu tidak bekerja lagi. Mengandalkan gaji dari sang ayah jelas tidak cukup. Saudara-saudara pun tak dapat diandalkan untuk diminta bantuan (Sungguh kejam dunia ini. Hikz!). Akhirnya saat Ain kecil duduk di kelas 5, sang Ibu memutuskan untuk bekerja kembali. Ain kecil pun mendapat tugas untuk mengasuh adiknya. Waktunya kembali dihabiskan di rumah lebih banyak. Namun, Ain kecil tidak pernah mengeluh karena hanya hal inilah yang dapat ia lakukan untuk membantu keluarganya. Sejak saat itu, seorang Ai Nurrochmah berpendapat bahwa hidup itu harus mandiri dan berusaha keras.

Pada tahun ajaran 2002/2003 Ain kecil melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Plumbon. Lagi-lagi musibah menghampirinya. Pada hari pelaksanaan ujian masuk, ia mendadak sakit (OMG!). Bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun sangat sulit rasanya. Kedua orang tuannya menghimbau agar jangan terlalu dipkasakan. Namun Ain kecil tak mau menyerah, ia tetap mengikuti ujian. Hasil ujian mengahruskan ia tak dapat masuk di kelas unggulan. Namun Ain tidak berkecil hati, karena ia berprinsip bahwa ditempatkan dimanapun yang menentukan adalah diri kita sendiri. Ain masuk ke kelas 1F, disana Ia bertemu kembali dengan “Sunny”. Sejak itulah Ain berubah jadi Ai.

Allah Maha Adil. Naik ke kelas 2, Ai ditempatkan di kelas 2G (kelas unggulan). Disana Ia bertemu dengan Een Sirwendah, Dede Lestari, dan Sri Lestari. Keempat gadis kecil ini ternyata merasa saling cocok dan membentuk geng bernama ADES (kini berganti nama menjadi TWEENIES). Alhamdulillah, hingga kini keemapt sekawan tersebut masih tetap langgeng :)

Menginjak kelas 3, Ain kecil tumbuh menjadi Ai remaja. Ia menemukan cinta pertamanya. Namun cerita cinta ini tak berjalan dengan mulus (ah sudah kita skip saja bagian ini!).

Prestasi intra maupun ekstrakulikuler seorang Ai Nurrochmah di tingkat SMP juga tidak mengecewakan. Ia aktif dalam kegiatan PMR, menduduki jabatan sebagai sekretaris dan sering memenangkan berbagai lomba. Di kelas pun , Ia tak pernah out of chart dari top ten the best.

Dengan nilai UAN sebesar 25,50 sebenarnya Ai ingin dan bisa masuk ke SMA 6 Cirebon (pengen masuk ke sana juga karena ada si “Sunny” juga sih :D). Namun kedua orang tuanya tidak mengizinkan karena khawatir akan kesehatannya yang sering sakit-sakitan. Akhirnya Ia memilih SMAN 1 Plumbon sesuai keinginan orang tuanya.

Pilihan orang tua memang selalu yang terbaik untuk anaknya. Di sekolah itu Ai mendapatkan beasiswa selama 3 tahun full karena prestasinya yang sangat bagus (Alhamdulillah bisa meringankan sedikit beban ortu). Ia selalu mendapatkan posisi pertama. Hingga di hari wisuda Ia dinobatkan sebagai juara umum kelompok IPA.

Ada cerita menarik waktu di SMA. Ai nekat masuk Pramuka. Suatu hari ambalannya mengikuti kegiatan LPKM di STAIN. Ternyata Ai terkena virus cinlok (haha, sinetron pisan ya?). tapi meskipun love at the first sight, tapi Alhamdulillah sampe sekarang masih langgeng (doakan ya?). Jodoh mah gak akan kemana, iya kan?

Tanggal 1 September 2008, Ai Nurrochmah resmi menjadi mahasiswi Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia. Lagi-lagi langkahnya ini menemui kerikil tajam. Sebenarnya sang Ibu tidak setuju. Beliau ingin putrinya menjadi seorang bidan. Namun Ai yang telah jatuh cinta pada Kimia dan mempunyai cita-cita menjadi guru sejak SD terpaksa menentang keinginan Ibunya (Sorry Mom!). Namun, Ia sempet kecewa juga ketika lamaran PMDK-nya ditolak. Dalam keadaan frustasi, Ai iseng-iseng mengikuti try out di Poltekkes. Ternyata Ia mendapat juara 2. Keadaan ini membuatnya sangan bingung. Ia sempat ingin membuang impiannya. Tapi akhirnya Ia mencoba peruntungannya sekali lagi mengikuti UM UPI. Alhamdulillah Ia lolos. Akhirnya sang Ibu pun mengikhlaskan.

Hingga kini Ai telah menginjak semester 7 dan mulai mencoba menyusun skripsi. Doakan ya teman-teman … :)